Investor Parameter

 |  HOME  |  NEWS UPDATE  |  ECONOMY ISSUE  |  MARKET HILIGHT  |  CORPORATE  |  REGULATION  |  INDUSTRY  |  COMMODITY  |  RESEARCH & ANALYSIS  |  EDITORIAL  |

Anomali Pergerakan Kurs Rupiah di Akhir 2014

Perkembangan nilai tukar rupiah terhadap ­dolar AS menjelang akhir tahun ini menarik untuk dicermati. Ini lantaran terjadi pergerakan yang aneh dan kontroversial, yaitu pelemahan rupiah terjadi ­ketika Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) justru menguat cukup signifikan.

Logikanya, ketika bursa saham domestik­­ ­merekah, maka akan memberikan efek positif ke kurs rupiah berupa apresiasi. Investor asing tentu akan mengkonversikan dolarnya ke rupiah untuk ­bertransaksi saham di pasar modal. Faktanya, teori itu tidak terjadi di Indonesia.


Jadi, pasti ada “sesuatu” yang ganjil yang membuat IHSG menguat, namun sebaliknya rupiah malah melemah. Jika demikian persoalannya, maka bisa dimaklumi kalau Bank Indonesia (BI) tetap bersikap tenang menyikapi terdepresiasinya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS di sepanjang Desember ini.

Secara perlahan, kurs rupiah mendekati level Rp12.800 – Rp13.000 per dolar AS. bank sentral tahu ­persis bahwa penyebab melemahnya nilai tukar rupiah bukan karena faktor moneter, melainkan faktor fundamental.

Maka, jajaran pimpinan BI secara kompak ­selalu mengatakan bahwa perkembangan kurs rupiah masih sesuai dengan kondisi fundamental ekonomi Indonesia. Sepanjang tahun ini (1 Januari 2014 – 15 Desember 2014), nilai tukar rupiah melemah 1,8% terhadap dolar AS. Ini tidak separah yen Jepang yang terdepresiasi 15%, ringgit Malaysia 6,6%, won Korsel 6,5%, dolar Singapura 4,7%, dan yuan Tiongkok 2%.

Sikap tenang BI itu menandakan bahwa BI ­tidak panik menyikapi pergerakan kurs rupiah. Ini penting untuk memberikan kepercayaan kepada pasar bahwa sejauh ini pergerakan kurs rupiah masih dalam koridor penjangkaran bank sentral. Yang ribut di ruang publik adalah orang-orang yang tidak paham dan tidak tahu tentang dinamika ekonomi-moneter dan berucap semaunya sendiri seolah-olah tahu segalanya.

Maka, akan sangat konyol jika penyebab pelemahan rupiah bukan karena faktor moneter, maka BI mencoba untuk intervensi dengan biaya yang mahal. Pengalaman dua-tiga tahun lalu masih membekas, dimana langkah intervensi bank sentral ­dengan kucuran dolar AS bermiliar-miliar dolar AS tidak memberikan efek nyata terhadap penguatan rupiah. Ini lantaran “penyakit utama”-nya bukan di sisi moneter, melainkan di sisi non moneter. Jadi, percuma saja intervensi dilakukan, karena ibaratnya hanya akan menggarami air laut.

Terkait pelemahan kurs rupiah di akhir 2014 ini, setidaknya ada dua sebab utama. Kesatu, karena faktor internal. Kedua, karena faktor eksternal. Faktor internal bersumber dari tiga hal. Pertama, karena ekspektasi inflasi yang cenderung tinggi pascakenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi pada 18 Nopember lalu. Inflasi sepanjang 2014 diproyeksikan berada di kisaran 7,3%-7,6%. Sebenarnya upaya menekan inflasi sudah dilakukan oleh Bank Indonesia (BI) secara taktis dengan menaikkan suku bunga acuan atau BI rate sebesar 25 bps dari 7,5% menjadi 7,75% di minggu ketiga Nopember lalu.

Kedua, karena besarnya rasio defisit transaksi berjalan (DTB) terhadap produk domestik bruto (PDB) yang berkisar 3,2%. Masih besarnya rasio DTB lantaran impor bahan baku dan setengah jadi masih tinggi, sementara ekspor relatif sulit didorong. Apalagi impor minyak masih terus berlangsung seiring tingginya konsumsi minyak di dalam negeri meskipun pemerintah sudah menaikkan harga BBM bersubsidi.

Ketiga, kebutuhan pembayaran kewajiban utang luar negeri (ULN) oleh korporasi swasta yang jatuh tempo menjelang tutup buku. Celakanya, ­mayoritas ULN ini ada di kalangan korporasi swasta yang sebagian ULN-nya tidak diproteksi dengan skema lindung nilai (hedging). Keempat, sebagian kelompok kaya di Indonesia membeli dolar AS untuk berbagai keperluan seperti liburan ke luar negeri.


Sementara itu yang terkait dengan faktor eksternal, yang pertama adalah terkait rencana penaikan suku bunga The Fed di Amerika Serikat. Ini sebagai tindak lanjut langkah penghentian paket stimulus di AS (tapering off) pada Oktober silam. Penaikan suku bunga the Fed (Fed Fund Rate/FFR) sebagai respon lanjutan atas perbaukan dan pemulihan ekonomi AS.

Beberapa indikatornya adalah rata-rata angka penyerapan tenaga kerja per bulan berkisar 200 ribu orang; angka pengangguran sudah di level 5,8%; inflasi ­sudah bergerak di kisaran 2%; dan pertumbuhan ekonomi ­sudah mendekati level 3%. Diperkirakan The Fed akan menaikkan FFR pada awal semester kedua tahun 2015.

Rencana penaikan FFR memberikan pandangan baru di kalangan pelaku pasar bahwa kekuatan dolar AS terhadap seluruh mata uang dunia akan terus berlanjut hanya saja, The Fed dan pemerintah AS tentu tidak akan membiarkan dolar AS bergerak terlalu kuat karena akan berdampak negatif bagi ekspor AS. Barang-barang buatan AS menjadi tidak kompetitif terhadap barang-barang buatan negara lai, terutama China dan Jepang. Maka, diperkirakan The Fed dan pemerintah AS akan melakukan berbagai upaya untuk menjaga kurs dolar AS pada level tertentu.

Kedua, adalah karena jatuhnya harga minyak dunia yang amat tajam –dari 105 dolar AS per barel menjadi 65 dolar AS per barel. Ini menyebabkan kalangan hedge fund global beralih dari komoditas minyak ke dolar AS sebagai komoditas baru. Alhasil, pembelian dolar AS makin masif yang berdampak pada penguatan dolar AS sevara luar biasa.

Ketiga, ketegangan politik di Rusia pasca-aneksasi wilayah Kremia di Kroasia dan ketegangan politik di Timur Tengah menyebabkan pelaku pasar global memburu dolar AS sebagai safe heaven. Keempat, karena berlakunya rezim suku bunga ultra rendah di kawasan Uni Eropa membuat mata uang euro tertekan terhadap dolar AS. Hal ini memberikan imbas negatif ke mata uang Asia, termasuk rupiah.

Kombinasi faktor internal dan eksternal itulah yang membuat pergerakan kurs rupiah belakangan ini mengalami tekanan. Memang cepat atau lambat posisi dolar AS akan kembali ke titik keseimbangan atau ekuilibrium baru terhadap seluruh mata uang di dunia. Sekali lagi, pemerintah AS tentu tidak nyaman juga kalau dolar AS terlalu kuat dibandingkan mata uang negara-negara lainnya.

Maka, BI bersama dengan pemerintah Indonesia harus bahu membahu memperbaiki fundamental ekonomi Indonesia agar menciptakan sentimen positif dan menguatkan kembali kepercayaan pasar. BI tetap harus melanjutkan kebijakan moneter yang cenderung ketat untuk mengarahkan laju inflasi pada kisaran rendah 3-5% tahun 2015 dengan tetap menjaga peluang ekonomi tetap tumbuh moderat pada kisaran 5,2-5,5% bertumpu pada pertumbuhan kredit sekitar 15%-17%.

Sementara tugas pemerintah adalah menekan impor semaksimal mungkin seraya mendorong kegiatan ekspor non migas –yakni produk manufaktur– ke berbagai negara mitra dagang utama yang memiliki pertumbuhan ekonomi masih cukup baik. Penggunaan produk dan komoditas lokal untuk berbagai keperluan instansi pemerintah juga membantu mengurangi produk impor. Ini berlaku jangka pendek, menengah hingga jangka panjang.

Yang harus dilakukan untuk jangka panjang dan berkelanjutan adalah memperbaiki fundamental ekonomi. pembangunan infrastruktur –bandar udara, pelabuhan laut, waduk, irigasi, transportasi darat, laut dan udara, telekomunikasi dan kelistrikan– harus diintensifkan ke seluruh wilayah Tanah Air. Ini akan menaikkan daya saing sekaligus menekan biaya logistik karena inefisiensi di sektor logistik dan konektivitas dapat ditekan. Reformasi birokrasi harus terus dilanjutkan terutama terkait dengan pelayanan publik, investor. Ijin usaha dan investasi harus dipercepat dan diperlonggar.

Ketika ekspor belum bisa dipacu lebih tinggi, maka investasi langsung harus diprioritaskan sebagai penggerak motor perekonomian. Pemerintah juga bisa memberikan andil lebih besar dengan cara mempercepat serapan belanja modal dan barang. Regulasi terkait pengadaan barang dan jasa di instansi pemerintah dan BUMN/BUMD yang selama ini ditengarai terlalu ketat sehingga menyulitkan proses tender harus dilonggarkan tanpa mengurangi kadar pengawasan atau pengendalian secara melekat.

Paralel dengan semua itu, pemerintah harus terus mendorong penggunaan transaksi pembayaran di dalam negeri dengan rupiah sesuai amanat Undang-Undang Nomor 7 tahun 2011 tentang Mata Uang Rupiah. Penggunaan mata uang non rupiah harus diberikan sanksi denda atau penalti sesuai ketentuan yang berlaku. Pembayaran hotel, sewa menyewa properti (apartemen, kondominium), pembayaran bongkar muat barang di pelabuhan laut dan penyewaan lahan parkir pesawat di bandar udara, semuanya wajib menggunakan rupiah, kecuali diatur lain.

Terakhir adalah jajaran teras BI dan pemerintah harus mampu berkomunikasi dengan baik kepada seluruh pemangku kepentingan terkait pelemahan rupiah akhir-akhir ini. Meraka harus mampu menyampaikan pesan-pesan yang konstruktif tanpa harus menyembunyikan fakta yang ada seraya menekankan upaya penanggulananya secara sungguh-sungguh. Kesan yang baik akan dapat menahan potensi ­kepanikan di tengah masyarakat.
businessnews.co.id
Comments
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Trending Topic